Oleh : Ahmad Jundi Khalifatullah, M.K.M. (Ketua Umum PP KAMMI)
BandungPunyaBerita. Com, – Pidato kenegaraan Presiden Prabowo Subianto pada Sidang Tahunan MPR/DPR/DPD RI 15 Agustus 2025 menjadi momen penting dalam perjalanan bangsa menjelang usia 80 tahun kemerdekaan Indonesia. Dalam kesempatan tersebut, Presiden Prabowo membuka pidatonya dengan refleksi sejarah panjang perjuangan bangsa, seraya memberikan penghormatan kepada para pendahulu dari era Presiden Soekarno hingga Presiden Joko Widodo. Ia menekankan bahwa capaian hari ini bukan hasil kerja satu rezim semata, melainkan akumulasi perjuangan panjang para pemimpin terdahulu dan rakyat Indonesia secara keseluruhan. Presiden Prabowo juga menyinggung transisi pemerintahan dari Jokowi ke dirinya yang berlangsung lancar, sesuatu yang menurutnya menunjukkan keunikan demokrasi Indonesia: demokrasi yang mengutamakan persatuan, bukan perpecahan.
Dalam pidatonya, Presiden menegaskan bahwa pemerintahannya serius dalam memerangi korupsi. Ia mengungkapkan bahwa dalam 299 hari pertama, pemerintah berhasil menyelamatkan sekitar Rp300 triliun dari potensi penyimpangan anggaran. Menurutnya, pemerintah tidak akan lagi terjebak dalam sikap saling menyalahkan, melainkan berfokus pada solusi konkret. Pidato ini mendapat perhatian khusus dari publik karena menggarisbawahi komitmen baru dalam pemberantasan korupsi yang kerap menjadi penyakit kronis bangsa. Bahkan, sejumlah pengamat menyebut hal ini sebagai sinyal positif bagi penegakan hukum, meski kritik tetap muncul dari kelompok masyarakat sipil yang menuntut bukti nyata dari retorika tersebut.
Di bidang ekonomi, Presiden memaparkan capaian signifikan dengan menyebut pertumbuhan ekonomi kuartal II tahun 2025 yang mencapai 5,12 persen. Investasi juga meningkat tajam sebesar 13,6 persen pada semester pertama, dengan total nilai Rp942 triliun yang menyerap lebih dari 1,2 juta tenaga kerja. Pencapaian ini menurutnya merupakan bukti kepercayaan dunia internasional terhadap stabilitas dan prospek ekonomi Indonesia. Selain itu, ia menekankan pentingnya ketahanan pangan. Indonesia, menurutnya, tidak hanya berhasil memenuhi kebutuhan dalam negeri dengan cadangan beras lebih dari empat juta ton, tetapi juga mulai kembali mengekspor beras dan jagung ke luar negeri. Hal ini dianggap sebagai capaian monumental setelah puluhan tahun Indonesia lebih sering bergantung pada impor pangan.
Program sosial juga mendapat sorotan besar. Presiden menyampaikan keberhasilan program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang dalam delapan bulan pertama telah membuka 290 ribu lapangan pekerjaan baru dan melibatkan hampir satu juta petani, nelayan, peternak, serta pelaku UMKM. Program ini bukan hanya dimaksudkan untuk memperbaiki kualitas gizi generasi muda, tetapi juga untuk menggerakkan ekonomi rakyat kecil. Selain itu, pemerintah telah meluncurkan 100 Sekolah Rakyat yang ditargetkan meningkat hingga 300 sekolah dalam waktu dekat, memberikan bantuan perumahan bagi 200 keluarga, serta menyalurkan tunjangan guru dan melakukan renovasi sekolah-sekolah yang rusak. Semua ini, menurutnya, merupakan bagian dari strategi jangka panjang pengentasan kemiskinan dan pembangunan sumber daya manusia Indonesia.
Dalam urusan politik luar negeri, Presiden menegaskan komitmen Indonesia untuk tetap memainkan peran aktif di panggung dunia. Ia menyebut keterlibatan Indonesia dalam BRICS sebagai langkah strategis memperkuat posisi global, sekaligus menegaskan dukungan yang konsisten terhadap perjuangan rakyat Palestina. Pidato kenegaraan itu ditutup dengan seruan membangun semangat “Indonesia Incorporated,” sebuah istilah yang ia gunakan untuk menggambarkan kerja sama seluruh komponen bangsa dalam mencapai tujuan besar Indonesia Emas 2045.
Presiden juga menyampaikan Nota Keuangan dan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2026. Ia merinci delapan prioritas utama pemerintah, mulai dari ketahanan pangan dengan alokasi Rp164,4 triliun, ketahanan energi sebesar Rp402,4 triliun yang diarahkan untuk mendukung transisi ke energi terbarukan, hingga kelanjutan program Makan Bergizi Gratis yang mendapat porsi Rp335 triliun. Pendidikan tetap menjadi prioritas utama dengan porsi 20 persen dari total APBN, mencapai Rp757,8 triliun, yang disebut sebagai alokasi terbesar dalam sejarah Indonesia. Sementara itu, bidang kesehatan juga mendapatkan Rp244 triliun untuk meningkatkan akses layanan yang merata dan berkualitas. Di luar itu, penguatan ekonomi rakyat, pertahanan rakyat semesta, serta percepatan investasi dan perdagangan global juga mendapat penekanan. Secara keseluruhan, total belanja negara dalam RAPBN 2026 ditetapkan sebesar Rp3.786,5 triliun, dengan target pendapatan Rp3.147,7 triliun, sehingga defisit mencapai Rp638,8 triliun atau sekitar 2,48 persen dari PDB. Presiden Prabowo menegaskan bahwa pembiayaan akan dilakukan dengan cara-cara inovatif, fleksibel, dan tetap hati-hati dalam menghadapi ketidakpastian global. Ia ingin memastikan bahwa pembangunan nasional tidak hanya berkelanjutan tetapi juga adaptif terhadap dinamika internasional.
Pernyataan yang diorasikan oleh Presiden patut diberikan apresiasi atas keterbukaan informasi dan sejumlah komitmen yang disampaikan. Namun, sebagai pemuda yang tak boleh kehilangan nalar kritis perlu kiranya kita menyampaikan catatan terkait dengan pidato Presiden Prabowo dalam momentum 80 Tahun Kemerdekaan Negara Republik Indonesia.
Pertama, klaim penyelamatan Rp300 triliun dari potensi kebocoran anggaran memang patut diapresiasi, tetapi tidak disertai penjelasan rinci mengenai mekanisme, data, dan tindak lanjut hukum terhadap aktor-aktor yang diduga terlibat. Tanpa kejelasan, klaim tersebut rawan menjadi sekadar retorika politik yang sulit diverifikasi publik.
Kedua, meskipun program MBG mendapat dukungan luas, penulis mengingatkan bahwa pengalaman berbagai program bantuan sosial sebelumnya sering kali diwarnai penyimpangan, baik dalam pendataan maupun distribusi. Karena itu, penulis berharap agar pelaksanaan MBG diawasi secara ketat, transparan, dan partisipatif, sehingga benar-benar sampai ke sasaran yang tepat. Selain itu, beberapa kasus tentang maladministrasi antara vendor dan yayasan yang telah terjadi dimana-mana dapat diselesaikan segera.
Ketiga, alokasi anggaran besar pada sektor pendidikan dan kesehatan memang sejalan dengan mandat konstitusi, namun ironi bahwa anggaran yang besar tersebut ternyata juga di isi oleh anggaran untuk MBG, selain itu penulis menilai pemerintah masih belum cukup serius membenahi kualitas guru, tenaga kesehatan, serta kesenjangan fasilitas antara kota dan desa. Semangat UUD 1945 yang menekankan keadilan sosial belum sepenuhnya terwujud jika layanan pendidikan dan kesehatan tetap timpang antara pusat dan daerah.
Keempat, hal yang perlu disorot ialah aspek lingkungan hidup. Presiden memang menyebut soal penanganan tambang ilegal. Namun, pernyataan tersebut terlalu normatif dan belum menunjukkan langkah nyata. Maka, yang menjadi pertanyaan besar ialah bagaimana konsistensi pemerintah dalam menjaga amanat UUD 1945 pasal 33—yang menegaskan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat—masih dipertanyakan, mengingat praktik eksploitasi sumber daya yang kerap lebih menguntungkan investor besar daripada rakyat.
Berkenaan dengan UUD 1945 sebagaimana yang disampaikan oleh Presiden bahwa UUD 1945 merupakan peninggalan Founding Fathers yang sangat relevan dengan Indonesia saat ini, namun pertanyaan besar terkait relevansi ialah bagaimana gagasan yang termaktub di dalam UUD 1945 dapat diterjemahkan dalam kebijakan yang nyata. Sejarah amandemen UUD 1945 antara tahun 1999–2002 memperlihatkan bagaimana perubahan konstitusi dapat memperbaiki aspek demokrasi prosedural, tetapi sekaligus melahirkan problematika baru, seperti fragmentasi kekuasaan dan lemahnya sistem presidensial karena tersandra procedural oleh Lembaga lain. Dengan demikian, mengembalikan UUD 1945 pada “roh aslinya” sebagaimana sering disuarakan oleh Presiden, perlu dipertanyakan secara kongkrit, apakah yang dimaksud adalah kembali ke teks sebelum amandemen, ataukah memperkuat hasil amandemen dengan penafsiran konstitusional yang konsisten?
Di tengah semangat besar menyongsong Indonesia Emas 2045, pidato kenegaraan Presiden Prabowo menjadi panggung penting untuk menampilkan visi dan janji pemerintah. Namun, pidato hanyalah titik awal; yang jauh lebih penting adalah keberanian untuk mewujudkan kata-kata menjadi aksi nyata (bukan omon-omon), serta kesediaan untuk menerima kritik sebagai bagian dari proses demokrasi yang sehat. Di usia 80 tahun kemerdekaan, Indonesia tak cukup hanya merayakan pencapaian, tetapi harus dengan jujur mengakui tantangan dan ketimpangan yang masih ada. Maka, suara kritis dari rakyat, terutama dari pemuda, bukanlah bentuk perlawanan, melainkan wujud cinta dan tanggung jawab terhadap masa depan bangsa.
Dalam hal ini, kita bisa bercermin dari perjalanan Monkey D. Luffy dalam One Piece, yang sepanjang hidupnya memperjuangkan satu hal: kebebasan sejati. Luffy tidak tertarik pada tahta, kekuasaan, atau gelar. Ia berlayar, melawan ketidakadilan, dan membebaskan banyak negeri bukan karena ambisi politik, tetapi karena dorongan moral untuk memastikan setiap orang bebas menjalani hidupnya tanpa ditindas atau dikekang. Sama halnya dengan bangsa ini—kemerdekaan bukan hanya simbol dan seremoni, tetapi perjuangan terus-menerus untuk membebaskan rakyat dari belenggu ketimpangan, korupsi, kesenjangan pendidikan, dan eksploitasi sumber daya.
Jika Indonesia ingin benar-benar merdeka, maka semangat Luffy harus hidup dalam diri setiap pemimpin dan warga negara: menolak tunduk pada ketidakadilan, berani mengambil risiko demi kebenaran, dan terus berlayar ke arah masa depan yang lebih adil dan bermartabat bagi semua. Sebab, seperti kata Luffy, “I want to live a life of freedom!”—dan bukankah itu pula yang dicita-citakan oleh para pendiri bangsa 80 tahun yang lalu?
Editor: Beny