BandungPunyaBerita. Com, Kajian Ahad edisi 09 Februari 2025 bersama Ust. Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd. mengenai isi kandung Surah Al- Maidah Ayat 8. Dengan tema “Kebijakan Dibuat untuk Kemaslahatan Umat”.
Berikut penjelasan yang redaksi rangkum berikut ini.
Landasan Teologis
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا كُوْنُوْا قَوَّامِيْنَ لِلّٰهِ شُهَدَاۤءَ بِالْقِسْطِۖ وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَاٰنُ قَوْمٍ عَلٰٓى اَلَّا تَعْدِلُوْاۗ اِعْدِلُوْاۗ هُوَ اَقْرَبُ لِلتَّقْوٰىۖ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu penegak (kebenaran) karena Allah (dan) saksi-saksi (yang bertindak) dengan adil. Janganlah kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlakulah adil karena (adil) itu lebih dekat pada takwa. Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah : 8)
Interpretasi Para Mufasir
Imam Fakhrudin Ar-Razi menafsirkan QS. Al-Maidah ayat 8 dalam kitab tafsirnya “Mafatihul Ghaib”, ayat ini menunjukkan fokus pada penekanan bersikap adil kepada pihak yang dibenci atau yang dimusuhi. Dijelaskan pula bahwa kekafiran seseorang bukanlah alasan seorang muslim untuk berlaku tidak adil.
Dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan semua makhluknya untuk tidak berinteraksi dengan siapa pun kecuali dengan cara yang adil, dan tidak melenceng, dzalim, serta menyimpang. Allah SWT melarang mereka untuk menjadikan kebencian berbuat tidak adil.
Tampak jelas bahwa Al-Qur’an secara tegas memerintahkan umat islam untuk berbuat adil terhadap siapapun, tanpa pandang bulu. Inti sari inilah yang menjadi pondasi kuat mewujudkan perdamaian dan keadilan.
Sayyid Al-Quthbi menjelaskan dalam tafsirnya “Fi Zhilal Al-Qur’an” bahwa ayat ini memang memberi tugas yang berat bagi umat muslim. Sebab, sekadar menahan diri untuk tidak berbuat jahat tidak sesulit untuk aktif bersikap adil dan objektif ketika berhadapan dengan pihak yang tidak disenangi. Maka penekanan moral bersikap adil karena Allah menjadi utama dalam hal ini.
Pada ayat ini, menurut al-Maraghi dalam Kitab Tafsir Al-Maraghi, ditekankan soal tata cara bergaul (muamalah) dengan orang lain baik itu kawan maupun lawan. Kata “syahadah” dalam ayat di atas, menurut al-Maraghi, adalah perumpamaan (ibarat) agar orang-orang bersikap adil dan berani menunjukkan kebenaran sebagaimana tugas seorang hakim ketika memutuskan perkara. Syahadah juga bisa diartikan sebagai kesaksian jujur.
Imam As-Sa’di dalam kitab tafsir As-Sa’di menyebutkan bahwa Allah menyeru orang-orang yang beriman agar menegakkan konsekuensi iman dengan “menjadi orang-orang yang selalu menegakkan kebenaran karena Allah, menjadi saksi dengan adil.”
Hendaknya gerak-gerik yang dilakukan, lahir dan batin, terus bersemangat dalam penegakkan keadilan dan hendaknya pelaksanaannya itu hanya karena Allah semata, bukan karena tujuan dunia.
Dan hendaknya berlaku adil, tanpa berlebih-lebihan dan merendahkan orang lain. Tegakkan itu kepada kerabat, orang jauh, kawan maupun musuh.
Nilai-Nilai Pendidikan
- Keadilan sebagai prinsip utama
Pendidikan pertama yang dapat dipetik adalah pentingnya keadilan dalam segala aspek kehidupan. Ayat ini menekankan bahwa setiap keputusan atau kebijakan yang diambil harus berlandaskan pada keadilan, tanpa memandang status sosial atau kedudukan seseorang.
Dalam konteks kebijakan, prinsip ini mengajarkan bahwa kebijakan yang dibuat seharusnya mengutamakan keseimbangan hak dan kewajiban, serta memberikan manfaat yang adil untuk semua lapisan masyarakat.
- Kebijakan untuk kemaslahatan umat
Ayat ini menekankan bahwa kebijakan yang dibuat harus untuk kemaslahatan umat, yaitu membawa kebaikan dan manfaat bagi semua pihak. Kemaslahatan di sini mencakup kesejahteraan, kedamaian, dan keberlanjutan hidup yang adil.
Kebijakan yang tidak adil akan menciptakan ketidakpuasan, ketegangan, dan ketidakstabilan dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pemimpin untuk mengutamakan kepentingan umat secara keseluruhan, bukan hanya untuk golongan tertentu.
- Menghindari Hawa Nafsu
Kebijakan yang adil akan dapat terwujud jika para pengambil keputusan dapat menghindari pengaruh hawa nafsu atau kepentingan pribadi. Hawa nafsu dapat menyebabkan penyimpangan dari prinsip keadilan, sehingga sangat penting untuk menjaga niat dan tujuan yang mulia dalam setiap kebijakan yang diambil.
Dalam pendidikan politik dan pemerintahan, hal ini mengajarkan pentingnya integritas dan ketulusan dalam memimpin dan mengelola urusan publik.
Kebijakan Publik dalam Islam adalah kebijakan umum yang melahirkan kemaslahatan atau kesejahteraan rakyat dengan pilar utama terpenuhinya tujuan syariah (maqashid syari’ah).
Para ilmuwan dan cendekiawan Muslim klasik seperti Imam Al-Ghazali, Imam Asy-Syatibi, menekankan pada pentingnya terpenuhinya pilar maqashid syari’ah dalam seluruh kebijakan umum yang dilahirkan oleh para pemimpin (ulil amri) atau pemerintah Islam.
Allah memerintahkan kita untuk mematuhi aturan dan kebijakan yang dilaksanakan orang-orang yang dipilih untuk menjalankan urusan dan kepentingan publik (Ulil Amri). Allah mewajibkan hal itu setelah mewajibkan kita taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah dalam surat An-Nisa ayat 59.
Allah berfirman
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْٓا اَطِيْعُوا اللّٰهَ وَاَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ وَاُولِى الْاَمْرِ مِنْكُمْۚ فَاِنْ تَنَازَعْتُمْ فِيْ شَيْءٍ فَرُدُّوْهُ اِلَى اللّٰهِ وَالرَّسُوْلِ اِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُوْنَ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْاٰخِرِۗ ذٰلِكَ خَيْرٌ وَّاَحْسَنُ تَأْوِيْلًاࣖ ٥٩
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nabi Muhammad) serta ululamri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari Akhir. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih bagus akibatnya (di dunia dan di akhirat). (QS. An-Nisa’ : 59)
Imam Al-Ghazali dan Imam Asy-Syatibi membagi maqashid syari’ah dalam tiga level :
Pertama, dharuriyah atau kebutuhan pokok manusia yang jika tidak dipenuhi akan menyebabkan kerusakan, kesengsaraan di dunia dan akhirat. Kebutuhan tersebut adalah terpeliharanya agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Kedua, hajjiah atau kebutuhan sekunder untuk menopang kebutuhan dharuriyah seperti perlunya badan yang mengawasi kebijakan agar dapat berjalan sesuai tujuan dan untuk mempermudah tercapainya kemaslahatan hidup, dan menanggulangi kesulitan atau penyelewengan.
Ketiga, tahsiniyyah, yaitu pemenuhan kebutuhan yang dapat memperindah, suasana yang nyaman di mana syariah menjamin bagi pemanfaatan keindahan dan kenyamanan.
Kewajiban untuk taat kepada pemerintah diawali dengan kewajiban taat kepada kepada Allah dan taat kepada Rasulnya. Menurut Tafsir At-Tahrir wa At-Tanwir karangan Ibnu Ashur, pengurutan ini menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah yang menjalankan amanah dan menegakkan keadilan merupakan pelaksanaan riil dari muatan perintah syariat mengenai pentingnya menegakkan amanah dan keadilan hukum.
Di sisi lain, kewajiban taat kepada pemerintah mengikuti kewajiban taat kepada Allah dan taat kepada Rasulullah menunjukkan bahwa ketaatan kepada pemerintah tidak boleh keluar dari batasan-batasan (hudud) yang telah digariskan oleh Allah dalam al-Qur’an yang diwahyukan kepada Rasulullah.
Dimensi ketaatan terhadap pemerintah tergantung kebijakannya. Sepanjang aturan tersebut tidak menabrak aturan Allah dan Rasul-Nya, dia harus ditaati.
Ketika pemerintah mengeluarkan peraturan yang sifatnya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat, menegakkan hukum dan keadilan, mengawasi ideologi yang dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa maka aparat kepolisian sebagai penegak hukum pemerintah wajib untuk dipatuhi.
Rasulullah Saw bersabda :
عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ فِيْمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ، إِلاَّ أَنْ يُؤْمَرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَإِنْ أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ، فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ.
Wajib bagi seorang Muslim untuk selalu mendengarkan dan taat kepada pemimpin dalam hal-hal yang disukai atau dibencinya selama tidak diperintahkan berbuat maksiat kepada Allah. Jika dia diperintahkan untuk berbuat maksiat kepada Allah, jangan dia dengar dan jangan dia taat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Sementara itu rakyat wajib memberikan dukungan yang positif dan sekaligus kontrol yang kritis secara berkelanjutan terhadap lembaga perwakilan sebagai perumus (legislatif), lembaga pemerintahan sebagai pelaksana (eksekutif), maupun lembaga peradilan sebagai penegak hukum (judikatif).
Masyarakat juga wajib mentaati hukum bukan sekedar kepatuhan kepada hukum negara, tapi juga sebagai wujud penyerahan diri (Istislam an-nafsi) sepenuhnya kepada perintah Allah.
Dengan dibuat kebijakan yang dibuat untuk kemaslahatan umat maka terwujudlah masyarakat yang harmonis, aman, damai dan sejahtera.
Cara Menciptakan Kemaslahatan Umat dari Kebijakan yang Dibuat Ulil Amri
- Memiliki pengetahuan atas kebijakan yang diterapkan
Rasulullah Saw bersabda :
مَنْ أَرَادَ الدُّنْيَا فَعَلَيْهِ بِاْلعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَ الآخِرَهَ فَعَلَيْهِ بِالْعِلْمِ، وَمَنْ أَرَادَهُمَا فَعَلَيْهِ باِلعِلْمِ
“Barangsiapa yang hendak menginginkan dunia, maka hendaklah ia menguasai ilmu. Barangsiapa menginginkan akhirat hendaklah ia menguasai ilmu, dan barangsiapa yang menginginkan keduanya (dunia dan akhirat) hendaklah ia menguasai ilmu,” (HR Ahmad)
- Senantiasa berpegang teguh kepada Rasul dan ulil amri serta ulama yang mengetahui kebenaran
Allah berfirman :
وَاِذَا جَاۤءَهُمْ اَمْرٌ مِّنَ الْاَمْنِ اَوِ الْخَوْفِ اَذَاعُوْا بِهٖۗ وَلَوْ رَدُّوْهُ اِلَى الرَّسُوْلِ وَاِلٰٓى اُولِى الْاَمْرِ مِنْهُمْ لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْۢبِطُوْنَهٗ مِنْهُمْۗ وَلَوْلَا فَضْلُ اللّٰهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهٗ لَاتَّبَعْتُمُ الشَّيْطٰنَ اِلَّا قَلِيْلًا ٨٣
Artinya :
Apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan (kemenangan) atau ketakutan (kekalahan), mereka menyebarluaskannya. Padahal, seandainya mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ululamri (pemegang kekuasaan) di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya (secara resmi) dari mereka (Rasul dan ululamri). Sekiranya bukan karena karunia dan rahmat Allah kepadamu, tentulah engkau mengikuti setan, kecuali sebagian kecil saja (di antara kamu). (QS. An-Nisa : 83)
Dalam ayat tersebut terdapat pengajaran dan didikan terhadap kita. Bila terjadi suatu kejadian yang menyangkut keamanan dan ketakutan yang menimpa umat, maka tidak semua orang turut andil berbicara dan diminta fatwanya. Namun kembalikanlah kepada para Ulama yang pandai mengambil kesimpulan dan makna yang benar.
Bila tidak demikian, maka akan terjadi berbagai kekacauan dan kehancuran. Sebab mereka berfatwa tanpa dasar ilmu, dan tergesa-gesa dalam memberikan jawaban dan solusi tanpa menimbang dan memperhatikan firman Allâh dan Rasul-Nya.
Umat ini telah banyak ditimpa cobaan. Di antara sebabnya adalah adanya sebagian orang yang tak berkecukupan ilmu agama namun ia tampil di tengah kaumnya untuk mengambil sikap dalam hal tersebut. Sehingga iapun mencelakakan diri sendiri dan juga mencelakakan orang lain.
- Menjaga keutuhan umat manusia dan taat kepada ulil amri
Rasulullah Saw bersabda :
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قَالُوا لِمَنْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama adalah nasihat.” Para sahabat bertanya, “Untuk siapa wahai Rasûlullâh?” Beliau menjawab, “Untuk Allâh, Kitab-Nya, Rasul-Nya, pemimpin kaum Muslimin dan untuk kaum Muslimin secara umum.” (HR. Muslim)
Inilah yang diajarkan sunnah dan yang dijalankan kaum salaf. Inilah yang akan membuat kebaikan tersebar luas. Sampai-sampai sebagian salaf berkata, “Sekiranya aku mempunyai doa yang mustajab, tentu akan aku jadikan doaku untuk penguasa.” Sebab baiknya penguasa akan membuahkan kebaikan untuknya dan juga rakyatnya.
Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa sudah seharusnya masalah kepemimpinan itu kita jadikan sebagai bagian dari pelaksanaan ajaran agama, di mana kita juga bertaqarrub kepada-Nya melalui hal tersebut. Dan agar kita menjalankan ketakwaan kita kepada Allâh SWT dengan melaksanakan apa yang menjadi kewajiban kita terhadap penguasa, sesuai dengan apa yang diajarkan Al-Qur’an dan as-Sunnah.
- Tidak menyakiti
Rasulullah Saw bersabda :
اضْمَنُوا لِي سِتًّا مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَضْمَنْ لَكُمُ الْجَنَّةَ: اصدُقُوا إِذَا حَدَّثْتُمْ، وَأَوْفُوا إِذَا وَعَدْتُمْ، وَأَدُّوا إِذَا ائْتُمِنْتُمْ، وَاحْفَظُوا فُرُوجَكُمْ، وَغُضُّوا أَبْصَارَكُمْ، وَكُفُّوا أَيْدِيَكُمْ
Berilah kepadaku jaminan enam perkara dari diri kalian, niscaya aku jamin kalian mendapatkan surga: Jujurlah kalian bila berbicara, penuhilah bila kalian saling berjanji, tunaikanlah bila kalian diberi amanah kepercayaan, peliharalah kemaluan kalian, tundukkanlah pandangan kalian, dan cegah atau tahanlah tangan kalian. [HR. Ahmad]
- Mensyukuri nikmat Allah yang diberikan kepada kita berupa kebijakan yang maslahat, pemimpin yang sayang rakyat jangan diingkari
Allah berfirman :
وَضَرَبَ اللّٰهُ مَثَلًا قَرْيَةً كَانَتْ اٰمِنَةً مُّطْمَىِٕنَّةً يَّأْتِيْهَا رِزْقُهَا رَغَدًا مِّنْ كُلِّ مَكَانٍ فَكَفَرَتْ بِاَنْعُمِ اللّٰهِ فَاَذَاقَهَا اللّٰهُ لِبَاسَ الْجُوْعِ وَالْخَوْفِ بِمَا كَانُوْا يَصْنَعُوْنَ ١١٢
Allah telah membuat suatu perumpamaan sebuah negeri yang dahulu aman lagi tenteram yang rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari setiap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Oleh karena itu, Allah menimpakan kepada mereka bencana kelaparan dan ketakutan karena apa yang selalu mereka perbuat (QS. An-Nahl : 112)
KISAH TELADAN
Kisah inspiratif Utsman bin Affan, seorang saudagar kaya yang dikenal karena kedermawanannya. Ia menggunakan kekayaannya untuk kemaslahatan umat Islam, membuktikan bahwa pengorbanan juga bisa datang melalui harta.
Salah satu kisah kedermawanan Utsman adalah ketika ia membeli sumur Ruma dari seorang Yahudi dan mendonasikannya untuk komunitas Muslim di Madinah. Tindakan ini memberikan dampak besar, karena sumur tersebut kini bisa digunakan oleh umat Islam secara gratis. Kisah ini mengajarkan bahwa harta bisa mendekatkan diri kepada Allah jika digunakan dengan niat yang ikhlas.
Selama persiapan Perang Tabuk, Utsman menyumbangkan sebagian besar hartanya untuk membiayai peralatan perang. Kisah ini menunjukkan kedermawanan dan ketulusan Utsman dalam mendukung perjuangan Islam.
Di akhir hayatnya, Utsman menghadapi fitnah yang mengancam kepemimpinannya. Ia tetap sabar dan teguh, bahkan rela mati syahid daripada meninggalkan prinsip-prinsip Islam. Kisah Utsman menginspirasi umat Islam untuk selalu ikhlas dan dermawan dalam membantu sesama serta tegas dalam mempertahankan iman di tengah ujian.
Kisah sahabat Rasulullah Saw berikutnya yang patut dijadikan teladan adalah kisah Ali bin Abi Thalib, sepupu dan menantu Rasulullah. Ali dikenal sebagai pemikir cerdas, bijaksana, dan pemberani. Sejak muda, Ali sudah menunjukkan kecerdasan luar biasa dan kedekatan dengan Rasulullah.
Saat Rasulullah berhijrah ke Madinah, Ali menunjukkan keberaniannya dengan tidur di tempat tidur Rasulullah untuk mengecoh musuh. Kisah ini menunjukkan pengorbanan luar biasa Ali yang rela meletakkan dirinya dalam bahaya demi keselamatan Rasulullah.
Sebagai khalifah keempat, Ali selalu mencari jalan terbaik untuk menyelesaikan konflik, termasuk dalam menghadapi perpecahan di kalangan umat Islam. Kisah ini mengajarkan kita pentingnya kecerdasan, kesabaran, dan keberanian dalam memperjuangkan kebenaran.
Ali juga dikenal sebagai pejuang yang gagah berani di medan perang, tidak gentar menghadapi musuh-musuh Islam dan selalu menunjukkan keteguhan iman yang kokoh. Kisah Ali bin Abi Thalib memberikan inspirasi untuk tetap teguh dalam membela agama dan menegakkan kebenaran.
Demikian Kajian Ahad Ust. Prof. Dr. H. Sofyan Sauri,. M.Pd. untuk kali ini semoga bermanfaat
Penutup.
DOA
اللهُمَّ رَحْمَتَكَ أَرْجُوْ وَلَا تَكِلْنِي إِلَى نَفْسِي طَرْفَةَ عَيْنٍ أَصْلِحْ لِي شَأْنِي كُلَّهُ لَا اِلَهَ اِلَّا أَنْتَ
“Ya Allah, kepada rahmat-Mu kuberharap. Janganlah Kaubiarkan aku sendiri menyelesaikan urusan meski sekejap. Bawakanlah kemaslahatan pada segala urusanku. Tiada Tuhan selain Engkau.”
(HR Bukhari dalam Kitab Al-Adabul Mufrad).
Editor: Beny