BandungPunyaBerita. Com, Jakarta – Salah satu tahanan politik (tapol) Diko Nugraha mengklaim, pergelaran “Persaudaraan Tapol dan Napol” terjadi karena adanya proses salah prosedur seperti yang terjadi pada kasus pembunuhan Vina Cirebon. Meski kesalahan ini berpengaruh pada masadepan, namun aktivis diminta berbesar hati demi mewujudkan Indonesia maju.
Sikap ini disampaikan Diko usai mengikuti acara “Persaudaraan Tapol & Napol” yang digelar di Pulau Dua Resto Jakarta Selatan, Sabtu 17 Agustus 2024. Hadir dalam acara yang disebut Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Gerakan Pemuda Islam (GPI) sejumlah aktivis nasional, diantaranya; Syahganda Nainggolan, Ratna Sarumpait, Egy Sudjana dan Hatta Taliwang. Mereka adalah para tokoh aktivis yang berperkara politik di era Presiden Jokowi.
“Di forum silaturrahmi ini akan berkumpul, bersilaturrahmi. Sekaligus diskusi dan membahas berbagai macam perkembangan isu situasi nasional,” kata Diko di salah satu kafe di kawasan Cikini Jakarta Pusat, Senin (19/08/2024).
Pria yang menjadi tahanan politik karena peristiwa Makar 313 ini menyambut postif acara tersebut. Momen tersebut, Diko menuturkan, menjadi ajang bertatap muka, bersilaturrahmi, berdiskusi, bertukar gagasan sesama aktivis.
“Sebagai aktivis bangsa, kita punya kewajiban untuk bersama-sama menata dan membangun Indonesia ke depan. Menuju arah yang lebih maju,”imbuhnya.
Lanjut Diko, hal yang terlewatkan dari acara tersebut adalah mengapa mereka menjadi tahanan politik. Ia menegaskan, status yang melekat tersebut sangat berpengaruh pada masa depan mereka. Ia menuturkan, statusnya saat ini adalah tahanan politik yang kebetulan menjalani tahanan rumah dengan tuduhan makar.
“Kami (seluruh aktivis Makar 313-red) dianggap, diduga, melakukan rencana penjatuhan presiden atau pemerintahan secara sah. Peristiwa itu saya anggap semata-mata bukan peristiwa politik, tapi hanya soal salah tangkap. Sebuah kekeliruan dalam keputusan pengambilan kebijakan dan prosedur teknis belaka,” tegas Ketum PP GPI ini.
Saat ini, lanjutnya, masih tetap tersangka tahanan politik yang menjalani tahanan rumah. Terhadap kondisi ini, Diko mengaku, setelah melalui pergulatan psikologis panjang, ia bisa memahami apa yang terjadi.
“Saya sebagai warganegara, dengan ini memaafkan seluruh pihak yang terkait. Saya sadar betul, kalau tidak saya maafkan peristiwa salah tangkap dan salah tuduh terhadap kami sebagai terduga pasal makar, tentu Indonesia tidak bisa membangun lebih baik. Karena akan terus diselimuti rasa marah, kecewa dan dendam. Akhirnya proses kita sebagai anak bangsa untuk berkonsentrasi memajukan bangsa ini tidak tercapai,” ungkap Diko.
Ia berharap, rekan-rekan aktivis yang mengalami hal yang sama dengan dirinya, mau berbesar hati. Jangan sampai terus memendam sikap negatif, yang berpotensi melakukan hal-hal yang berdampak tidak baik bagi kemajuan bangsa.
“Saya meminta kepada teman-teman, jangan melakukan atraksi-atraksi politik. Terlepas itu situasi nasional ada Pilkada, ada transisi pemerintahan. Sebagai warganegara, sebagai anak bangsa, sebagai anak pribumi Indonesia asli, kewajiban saya adalah tetap menghargai proses pemerintahan yang sah. Tetap mengikuti aturan hukum yang berlaku di bumi ini dan menghargai hak asasi manusia dan hak konstitusi warganegara Indonesia,” serunya.
Diko mengaku bersedia menjadi pelopor untuk mewujudkan hal tersebut. Ia optimis, sikap positif para aktivis yang menjadi tapol dan napol akan memberi dampak positif juga pada kemajuan bangsa.
“Saya siap bersama-sama membangun Indonesia yang lebih baik, yang lebih maju, tanpa marah tanpa dendam tanpa kecewa. Optimis. Kita semua saudara, kita semua satu. Satu bangsa Indonesia,” tukas Diko.
Kasus Tahanan Politik Seperti Kasus Vina Cirebon
Sesungguhnya, Diko menjelaskan, tidak semua aktivis yang berstatus tapol dan atau napol, secara hukum pidana Makar seperti pada pasal 104 junto 107. Pasal ini baru bisa diterapkan jika pebuatan yang mengarah pada penggulingan pemerintahan yang sah.
“Entah itu ada perbuatan yang nyata-nyata akan membunuh presiden misalnya, membuat negara baru, semacam itulah. Barang buktinya juga harus jelas. Seperti bom, pistol, senapan otomatis meriam. Nah di kami kan itu semua tidak ada. Saya dari dulu sampai sekarang mengakui pemerintahan yang ada selama ini adalah pemerintahan yang sah. Kami menyuarakan kritik, bukan menggulingkan kekuasaan. Masa pemerintah yang sah anti kritik,” tegas Diko.
Karenanya, ia mengatakan, dirinya menjadi tahanan politik dengan status tahanan rumah hanya karena kesalahan prosedur belaka. Ia pun mencontohkan kasusnya dengan kasus salah tangkap pada kasus pembunuhan Vina Cirebon. Dimana ada seorang kuli bangunan yang ditetapkan sebagai tersangka terduga pembunuh Vina. Akhirnya, setelah diproses dan ditinjau ulang, dipraperadilankan, dinyatakan tidak bersalah.
“Pada kasus saya, tahanan politik ada karena salah tangkap seperti kasus Vina Cirebon. Mungkin kami juga mengalami peristiwa itu. Ada kekeliruan, salah tangkap dan ini harus diluruskan. Harus dievaluasi, demi integritas penegakan hukum ke depan,”jelas Diko.
Ia berharap, pemerintah segera mengakhiri kesalahan prosedural yang terjadi pada para tapol dan napol. Diko mengingatkan, bagaimanapun, era kepemimpinan siapapun, tragedi semacamini harus segera diakhiri.
“Karena sebuah kebenaran itu tak akan salah dan yang salah tidak akan menjadi benar. Saya yakin itu. Bahwa sehebat apapun itu, kesalahan yang dibuat-buat, akan memunculkan kebenaran yang sejati,”tutup Diko Nugraha. (Amr)
Editor: Beny