BandungPunyaBerita. Com, Jakarta – Semua pemimpin yang diberikan kesempatan melaksanakan tugas dan tanggung jawab, baik di pemerintahan maupun organisasi profesi serta masyarakat, berupaya meninggalkan legacy yang relevan setiap waktu. Mereka menjadi sosok yang selalu dibanggakan dan dirindukan oleh sebagian besar masyarakat sepanjang masa. Contohnya adalah Bung Karno, Jenderal Hoegeng Iman Santoso (mantan Kapolri), dan Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI). Orang yang banyak berjasa akan tetap dikenang meskipun sudah meninggal dunia.
Pepatah bijak “gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan nama” mengingatkan kita akan pentingnya meninggalkan legacy positif sebagai bagian dari sejarah perjalanan hidup. Sebaliknya, pemimpin yang meninggalkan legacy tercela atau tempest (prahara) akan berlalu seperti angin dan tidak patut dikenang apalagi disayangi. Pertanyaannya, legacy apakah yang akan ditinggalkan pemimpin organisasi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) periode 2023-2028 ini? Dengan situasi yang serba belum pasti saat ini, sulit untuk menjawabnya.
Peristiwa memalukan yang terjadi di tubuh PWI Pusat, yaitu kasus dugaan penggelapan atau penyelewengan uang Uji Kompetensi Wartawan (UKW) gratis dari dana CSR BUMN yang nilainya miliaran rupiah, belum jelas penyelesaiannya. Meskipun isu ini sudah menjadi prahara yang merobek integritas dan profesionalitas jurnalis, tak satu pun pemimpin PWI yang berdiri untuk menjelaskan peristiwa sebenarnya. Keputusan Dewan Kehormatan (DK) PWI Pusat tentang sanksi organisatoris terhadap Hendry Ch Bangun pun tidak berpengaruh.
Walaupun DK merupakan satu-satunya institusi PWI yang berwenang menetapkan ada tidaknya pelanggaran Peraturan Dasar (PD), Peraturan Rumah Tangga (PRT), Kode Etik Jurnalistik (KEJ), dan Kode Perilaku Wartawan (KPW), serta keputusannya bersifat final, sanksi tersebut tampaknya diabaikan. DK memberikan peringatan keras terhadap ketua umum PWI Pusat dan tiga pengurus lainnya, dan mereka wajib mempertanggungjawabkan perbuatan yang merugikan PWI. Namun, rekomendasi untuk memberhentikan Sekjen, Wabendum, dan Direktur UMKM dari kepengurusan PWI pusat periode 2023-2028 tidak dilaksanakan.
Sebaliknya, DK malah mendapat perlawanan keras dari Sekjen melalui surat laporan yang dilayangkan kepada Ketua DK dengan tudingan bahwa DK tidak becus. Bahkan, Ketua Umum dan Sekjen melalui kuasa hukumnya melayangkan surat keberatan dan somasi kepada Ketua DK PWI Pusat. Kasus yang menerpa PWI Pusat dan keputusan DK tidak menghambat kegiatan orang-orang yang dijatuhi sanksi. Mereka tetap beraktivitas seolah-olah tidak ada masalah.
Sangat aneh melihat insan pers ikut tercemar dengan budaya kempes. Ketika mengulik kasus yang melibatkan pihak lain, jurnalis biasanya bersikap agresif. Namun, dalam kasus ini, para ketua PWI daerah mendadak kehilangan suara dan tidak mampu bersuara alias bungkam. Mereka terkesima dan gugup mendengar Ketua Umum menjelaskan dirinya sudah puluhan tahun berorganisasi. Nyatanya, baru enam bulan menjabat, sudah dilanda kasus korupsi atau penggelapan dana bantuan dari BUMN.
Kasus yang menjadi buah bibir publik ini kini telah bergulir ke tangan aparat penegak hukum. Penyidik Bareskrim sudah melakukan pendalaman kasus di Gedung Dewan Pers yang juga kantor PWI Pusat. Begitu juga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima pengaduan dan beberapa alat bukti dari masyarakat. Kita harus mendorong dan mendukung agar kedua lembaga penegak hukum ini melaksanakan tugasnya secara profesional dan akuntabel sehingga kasus ini menjadi terang atau clean and clear.
“Kasus dugaan penggelapan dana UKW ini sangat memalukan dan merusak integritas profesi jurnalis. Kita harus mendorong agar PWI dan semua pihak terkait mengambil langkah tegas untuk menyelesaikan masalah ini. Jangan sampai legacy yang kita tinggalkan adalah prahara yang mencoreng nama baik organisasi,” kata Edison Siahaan, jurnalis senior di Jakarta, Rabu (15/5). (Ton).