BandungPunyaBerita. Com, – Kajian Ahad edisi 11 Mei 2025 bersama Ust. Prof. Dr. H. Sofyan Sauri, M.Pd, dengan tema “Bijak di Dunia Maya Melalui Petunjuk Al-Qur’an” yang dirangkum redaksi BandungPunyaBerita. Com, berikut ini.
Dikutip dari Surah An-Nur Ayat 19:
اِنَّ الَّذِيْنَ يُحِبُّوْنَ اَنْ تَشِيْعَ الْفَاحِشَةُ فِى الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَهُمْ عَذَابٌ اَلِيْمٌۙ فِى الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةِۗ وَاللّٰهُ يَعْلَمُ وَاَنْتُمْ لَا تَعْلَمُوْنَ ١٩
Artinya:
Sesungguhnya orang-orang yang senang atas tersebarnya (berita bohong) yang sangat keji itu di kalangan orang-orang yang beriman, mereka mendapat azab yang sangat pedih di dunia dan di akhirat. Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui. (QS. An-Nur : 19)
Asbabunnuzul
Diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Imam Muslim yang bersumber dari ‘Aisyah. Diriwayatkan pula oleh ath-Thabarani yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas dan Ibnu ‘Umar. Diriwayatkan pula oleh Ibnu Marduwaih yang bersumber dari Abul Yasar. Ayat ini turun berhubungan dengan fitnah yang dituduhkan kepada ‘Aisyah.
Rasulullah Saw akan mengundi istri-istrinya siapa yang akan diajak berperang, kebetulan ‘Aisyah terundi untuk dibawa. ‘Aisyah digotong di atas tandu, dan tandu itu ditaruh di atas unta untuk kemudian berangkat. Setelah peperangan selesai, waktu pulang hampir mendekati Madinah, Rasulullah memberi izin untuk berhenti sebentar pada waktu malam. ‘Aisyah turun dan pergi buang air. Ketika kembali ke tempatnya, ‘Aisyah meraba dadanya, ternyata kalungnya hilang, sehingga ia kembali ke tempat tadi untuk mencari kalung itu. Orang-orang yang memikul tandunya mengangkat kembali tandu itu ke atas unta yang dinaikinya. Mereka mengira bahwa ‘Aisyah ada di dalamnya, karena badannya enteng dan langsing, sehingga tidak begitu terasa bedannya tandu kosong dengan yang berisi.
Kalung itu ditemukannya kembali setelah pasukan Rasulullah berangkat, dan tak seorangpun yang masih ada di situ. ‘Aisyah duduk kembali di tempat berhenti tadi, dengan harapan orang-orang akan menjemputnya atau mencarinya. Ketika duduk di tempat istirahat tadi, ‘Aisyah mengantuk dan tertidur.
Kebetulah Shafwan bin al-Mu’aththal, yang tertinggal oleh pasukan karena suatu halangan, pada pagi itu sampai di tempat pemberhentian ‘Aisyah. Shafwan melihat ada bayang-bayang hitam manusia. Ia dapat mengenali ‘Aisyah karena pernah melihatnya sebelum turun ayat hijab. ‘Aisyah terbangun karena mendengan Shafwan mengucapkan “innaa lillaahi wa innaa ilaihi rooji’uun, ketika ia mendapatkannya. ‘Aisyah segera menutup muka dengan kerudungnya.
Ketika itu untanya disuruh berlutut agar ‘Aisyah dapat naik ke atasnya. Kemudian Shafwan menuntun unta tersebut sehingga sampai ke tempat pasukan yang sedang berteduh di siang hari. Hal itulah yang terjadi pada diri ‘Aisyah. Maka celakalah orang yang menuduhnya dengan fitnah yang dilancarkan oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul.
Ketika sampai ke Madinah, ‘Aisyah menderita sakit selama satu bulan. Sementara orang-orang menyebarkan fitnah yang dibuat oleh ‘Abdullah bin Ubay bin Salul, tetapi ‘Aisyah sendiri tidak mengetahuinya. Setelah ‘Aisyah merasa sudah agak sembuh, ia memaksakan diri pergi buang air dibimbing Ummu Misthah. Lalu Ummu Misthah menceritakan fitnah yang sudah tersebar luas itu, sehingga bertambahlah penyakit ‘Aisyah.
Pada suatu hari Rasulullah datang kepadanya (beliau tidak seperti biasanya memperlakukan ‘Aisyah), dan karenannya ‘Aisyah meminta izin untuk pergi kepada ibu-bapaknya untuk meyakinkan kabar yang tersebar itu. Rasulullah mengizinkannya. ‘Aisyahpun menangis pada malam itu, sehingga pada pagi harinya air matanya tak henti-hentinya mengalir siang dan malam.
Pada suatu hari Rasulullah memanggil ‘Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid untuk membicarakan perceraian dengan istrinya, karena wahyu tidak kunjung turun. Usamah mengemukakan pendapatnya bahwa sepanjang pengetahuannya, keluarga Rasul itu adalah orang baik-baik.
Ketika itu datanglah Rasulullah Saw. memberi salam, lalu duduk serta bersyahadat dan berkata: “Ammaa ba’du (apapun sesudah itu), hai ‘Aisyah. Sesungguhnya sudah sampai ke telingaku hal-hal mengenai dirimu. Sekiranya engkau bersih, maka Allah akan membersihkan dirimu, dan jika engkau melakukan dosa, maka mintalah ampun kepada-Nya.
Belum juga Rasulullah meninggalkan tempat duduknya dan tak seorangpun penghuni rumah yang keluar, Allah menurunkan wahyu kepada beliau. Tampak sekali Rasulullah kepayahan, sebagaimana biasa apabila beliau menerima wahyu. Setelah selesai menerima wahyu, kalimat pertama kali yang beliau ucapkan adalah: “Bergembiralah wahai ‘Aisyah, sesungguhnya Allah telah membersihkanmu.” Maka berkatalah ibunya kepada ‘Aisyah: “Bangunlah dan menghadap beliau. ‘Aisyah berkata: “Demi Allah, aku tidak akan bangun menghadap kepadanya, dan tidak akan memuji syukur kecuali kepada Allah yang telah menurunkan ayat yang menyatakan kesucianku.”
Interpretasi Para Mufasir
Tafsir As-Sa’di
Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di dalam tafsir as-Sa’di menjelaskan bahwa orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang amat keji itu tersiar, yaitu perkara yang keji lagi buruk. Lalu mereka menyukai kejelekan lebih menyabar di kalangan orang-orang yang beriman, maka mereka mendapatkan azab yang pedih, yaitu azab yang memedihkan hati, dan badan, lantaran tipuan mereka terhadap saudaranya sesama kaum muslimin, gembira dengan keburukan yang menimpa mereka dan lancang menodai kehormatan mereka.
Tafsir Al-Muyassar
Sesungguhnya orang-orang yang suka menyebarkan perbuatan keji di tengah kaum Muslimin, berupa tuduhan zina atau perkataan yang buruk, bagi mereka azab yang pedih di dunia dengan dilaksanakannya hukum had (pidana) atas mereka dan musibah dunia lainnya yang akan menimpanya, dan di akhirat, bagi mereka siksaan neraka, bila mereka tidak bertaubat kepada Allah. Dan Allah semata yang mengetahui kedustaan mereka, juga mengetahui kemaslahatan hamba-hambaNya dan kesudahan segala perkara, sedangkan kalian tidak mengetahui hal itu.
Etika Berkomunikasi di Dunia Maya
Ayat ini mengajarkan bahwa menyebarkan keburukan atau berita keji (fāḥishah) merupakan perbuatan tercela. Dalam konteks pendidikan, siswa harus dibimbing untuk berhati-hati dalam menggunakan media sosial agar tidak menjadi penyebar informasi negatif, hoaks, atau fitnah. Ini menguatkan pentingnya pendidikan literasi digital yang beretika.
Menumbuhkan Tanggung Jawab Moral
Ayat ini menjadi dasar dalam membentuk karakter peserta didik agar menjauhi perilaku menyebarkan aib orang lain. Ini selaras dengan tujuan pendidikan nasional yang menekankan pentingnya pembentukan karakter yang berakhlak mulia.
Pencegahan Ujaran Kebencian
Secara implisit, ayat ini mengandung larangan terhadap perilaku yang serupa dengan praktik penyebaran pornografi dan ujaran kebencian. Dalam pendidikan, hal ini menjadi penting sebagai bagian dari perlindungan dan pembinaan siswa dalam kehidupan digital.
Kesadaran Ilahiah dalam Berperilaku
Pernyataan bahwa “Allah mengetahui dan kamu tidak mengetahui” mengandung pelajaran pedagogis bahwa setiap aktivitas manusia, termasuk dalam dunia maya, harus dilandasi dengan kesadaran bahwa Allah Maha Mengetahui. Pendidikan Islam harus menumbuhkan kesadaran spiritual dan integritas pribadi.
Dunia Maya
“dunia maya” berarti ruang atau lingkungan yang ada dalam jaringan komputer atau internet, yang tidak nyata secara fisik tetapi dapat diakses melalui perangkat elektronik. Dunia maya memberikan ruang yang sangat luas bagi kita untuk mengisinya dengan berbagai macam bentuk komunikasi canggih yang membuat semua orang lebih mudah untuk berkomunikasi dengan keluarga, teman, kerabat atau kenalan baru. teknologi informasi masa kini mengakibatkan hadirnya banyak apresiasi dan hujatan yang tidak jarang hadir dalam proporsi yang tidak berimbang.
Hujatan yang juga merupakan celaan atau bahkan hinaan kini dapat dengan sangat mudah kita temui berseliweran di dunia maya. Betapa tidak, setiap informasi hampir pasti bisa dihujat. Karena sekat keterbatasan media komunikasi yang menjadi sarana penting tersampaikannya celaan atau hujatan tersebut telah dipangkas habis oleh teknologi informasi masa kini.
Demikian kita harus bijak bermedia sosial sesuai dengan petunjuk dari Allah Swt yaitu Al-Qur’an.
Dunia maya (internet dan media sosial) telah menjadi ruang utama berinteraksi, mencari informasi, dan membentuk opini publik. Namun, ruang ini juga rentan terhadap penyalahgunaan, seperti penyebaran hoaks, fitnah, ujaran kebencian, pornografi, dan pencemaran nama baik. Oleh karena itu, umat Islam dituntut untuk bersikap bijak dan bertanggung jawab dalam beraktivitas di dunia maya, sebagaimana diajarkan oleh Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam memberikan prinsip-prinsip etika komunikasi, kejujuran, verifikasi informasi (tabayyun), menjaga kehormatan orang lain, serta larangan menyebarkan aib dan keburukan. Ayat-ayat seperti QS. An-Nur: 19, QS. Al-Hujurat: 6, dan QS. Qaf: 18 memberikan landasan kuat untuk membentuk akhlak digital Islami.
Janganlah kita lalai dalam kehidupan akhirat dan malah mengutamakan dunia yang sementara, sehingga mereka tidak memperhatikan apa yang mereka ucapkan dan tuliskan di media sosial yang menyebabkan mereka menyesal kelak di akhirat.
Allah berfirman :
يَعْلَمُوْنَ ظَاهِرًا مِّنَ الْحَيٰوةِ الدُّنْيَاۖ وَهُمْ عَنِ الْاٰخِرَةِ هُمْ غٰفِلُوْنَ ٧
Mereka mengetahui yang lahir (tampak) dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap (kehidupan) akhirat mereka lalai. [QS. Ar-Rum : 7]
Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur’an Al-’Azhim memaparkan, “Artinya kebanyakan manusia tidak memiliki ilmu kecuali dalam urusan dunia, tata cara menggapainya serta perkara apa saja yang ada di dalamnya. Mereka adalah orang-orang yang cerdas dan pandai tentang bagaimana cara meraup dunia serta celah-celah untuk bisa mendapatkannya. Namun mereka lalai terhadap hal-hal yang akan mendatangkan manfaat untuk mereka di negeri akhirat. Seolah-olah akal mereka lenyap. Seperti halnya orang yang tidak memiliki akal dan pikiran.”
Luapan emosi dalam bentuk menghujat, menghina atau apapun sejenis itu adalah naluri alami dari manusia, yang berasal dari hawa nafsu yang tercela yang kita diperintahkan untuk menahannya. Padahal tidak semua apa yang kita rasakan atau ketahui harus diungkapkan, karena ini juga ada hubungannya dengan kestabilan sosial.
Sebagaimana salah satu adab dalam berbicara yang disampaikan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz hendaknya kita tidak membicarakan semua yang kita dengar. Artinya, tidaklah semua informasi atau keluh kesah serta ketidaksepakatan kita dalam suatu hal harus disampaikan, terlebih lagi disampaikannya tidak dalam koridor adab yang baik.
Di antara penyebab hujatan yang menjamur di dunia maya tersebut adalah prasangka buruk yang kini hampir selalu dikedepankan. Tanpa waktu yang lama mereka melontarkan kata-kata yang buruk kepada orang yang mereka komentari sehingga menyakiti hati orang lain.
Rasulullah Saw bersabda :
إِيَّا كُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيْثِ وَلاَ تَحَسَّسُوا وَلاَ تَجَسَّسُوا وَلاَ تَحَاسَدُوا وَلاَتَدَابَرُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَكُوْنُواعِبَادَاللَّهِ إحْوَانًا
“Berhati-hatilah kalian dari tindakan berprasangka buruk, karena prasangka buruk adalah sedusta-dusta ucapan. Janganlah kalian saling mencari berita kejelekan orang lain, saling memata-matai, saling mendengki, saling membelakangi, dan saling membenci. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara” (HR. Al-Bukhari, no. 6064 dan Muslim, no. 2563)
Amirul Mukminin Umar bin Khathab berkata, “Janganlah engkau berprasangka terhadap perkataan yang keluar dari saudaramu yang mukmin kecuali dengan persangkaan yang baik. Dan hendaknya engkau selalu membawa perkataannya itu kepada prasangka-prasangka yang baik”.
Bakar bin Abdullah Al-Muzani mengatakan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Oleh karena itu, Nabi Saw. memberikan penekanan pada umatnya agar mengfungsikan lisan dan tulisan diiringi dengan adab yang baik. Rasul Saw. menganjurkan untuk berpikir dan menimbang lebih dulu sebelum mengatakan dan menuliskan sesuatu, agar lisan tidak memberikan dampak buruk pada pemiliknya di dunia dan di akhirat nanti.
Rasulullah Saw bersabda :
عَنْ عِيسَى بْنِ طَلْحَةَ عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّهُ سَمِعَ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ : إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يَنْزِلُ بِهَا فِى النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ (رواه ابن حبان)
“Dari Isa bin Thalhah dari Abu Hurairah, ia mendengar sabda Rasulullah Saw.: “Sungguh (jika) seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa dipikir terlebih dahulu, ia pun akan terlempar ke neraka (yang) jauhnya antara timur dan barat” (HR. Ibnu Hibban)
Cara Bijak di Dunia Maya Sesuai Petunjuk Al-Qur’an
1.Senantiasa berlatih untuk bertutur kata yang baik
Allah berfirman :
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
Bertutur katalah yang baik kepada manusia. [QS. Al-Baqarah : 83
- Mengendalikan diri dengan memperhatikan semua perbuatan
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢ بِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan. [QS. Al-Hasyr : 18]
- Menjauhi prasangka buruk, mencari-cari kesalahan dan menggunjing
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَۗ اِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ رَّحِيْمٌ ١٢
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah banyak prasangka! Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada Allah! Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hujurat : 12)
- Bijak dalam konsumsi konten
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ١٦٨
Wahai manusia, makanlah sebagian (makanan) di bumi yang halal lagi baik dan janganlah mengikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya ia bagimu merupakan musuh yang nyata. [QS. Al-Baqarah : 168]
- Hendaknya pembicaran selalu di dalam kebaikan
Allah berfirman :
۞ لَا خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مِّنْ نَّجْوٰىهُمْ اِلَّا مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلَاحٍۢ بَيْنَ النَّاسِۗ وَمَنْ يَّفْعَلْ ذٰلِكَ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا
Tidak ada kebaikan dari banyak pembicaraan rahasia mereka, kecuali pembicaraan rahasia dari orang yang menyuruh (orang) bersedekah, atau berbuat kebaikan, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Barangsiapa berbuat demikian karena mencari keridaan Allah, maka kelak Kami akan memberinya pahala yang besar. (QS. An-Nisa’ : 114)
Menghindari sikap mengejek, memperolok-olok dan memandang rendah orang yang berbicara
Allah berfirman :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا يَسْخَرْ قَوْمٌ مِّنْ قَوْمٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُوْنُوْا خَيْرًا مِّنْهُمْ وَلَا نِسَاۤءٌ مِّنْ نِّسَاۤءٍ عَسٰٓى اَنْ يَّكُنَّ خَيْرًا مِّنْهُنَّۚ وَلَا تَلْمِزُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوْا بِالْاَلْقَابِۗ بِئْسَ الِاسْمُ الْفُسُوْقُ بَعْدَ الْاِيْمَانِۚ وَمَنْ لَّمْ يَتُبْ فَاُولٰۤىِٕكَ هُمُ الظّٰلِمُوْنَ
Artinya :
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan itu) lebih baik daripada mereka (yang mengolok-olok) dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olok itu) lebih baik daripada perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela dan saling memanggil dengan julukan yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) fasik setelah beriman. Siapa yang tidak bertobat, mereka itulah orang-orang zalim. (QS.Al-Hujurat : 11)
Kisah Teladan
Abu Hurairah adalah salah satu sahabat yang sangat terkenal karena banyaknya hadits yang beliau riwayatkan. Namun, Abu Hurairah juga dikenal sebagai seseorang yang sangat menjaga lisan dan berhati-hati dalam berkata. Kisah Sahabat tentang Menjaga Lisan dari Abu Hurairah ini menjadi pelajaran penting bagi umat Islam dalam mengendalikan perkataan.
Suatu ketika, Abu Hurairah mengatakan: “Saya tidak pernah berbicara kecuali jika saya yakin bahwa itu adalah kebaikan, dan saya akan lebih suka diam daripada mengatakan sesuatu yang sia-sia.”
Hal ini menunjukkan bagaimana Abu Hurairah sangat berhati-hati dalam berbicara. Beliau mengutamakan kualitas daripada kuantitas dalam berbicara. Kisah Sahabat tentang Menjaga Lisan ini mengingatkan kita untuk selalu berpikir terlebih dahulu sebelum mengucapkan sesuatu, memastikan bahwa kata-kata kita memberikan manfaat dan tidak menyakiti orang lain.
Suatu ketika, Umar bin Khattab pernah berkata, “Aku sangat menyesal apabila aku berbicara sesuatu yang tidak perlu, dan aku selalu merasa lebih tenang ketika aku diam.” Umar menyadari bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya memiliki dampak yang besar, baik untuk dirinya sendiri maupun untuk orang lain. Kisah sahabat tentang menjaga lisan ini mengajarkan kita untuk selalu merenung sebelum berbicara, agar tidak menimbulkan penyesalan atau dosa setelah perkataan tersebut terlontar.
Selain itu, Umar juga sangat memperhatikan lisan para pengikutnya. Ia pernah mengingatkan mereka untuk menjaga perkataan dalam setiap situasi. Dalam beberapa kesempatan, Umar memberikan nasihat kepada umat Islam bahwa lisan adalah salah satu alat yang paling mudah digunakan untuk merusak amal dan membahayakan diri sendiri. Kisah sahabat tentang menjaga lisan dari Umar ini memberikan pelajaran bahwa keadilan dalam masyarakat dimulai dari keadilan dalam berbicara.
Demikia Kajian Ahad untuk kali ini semoga bermanfaat.
Penutup.
Do’a
اللَّهُمَّ إنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ شَرِّ سَمْعِي ، وَمِنْ شَرِّ بَصَرِي ، وَمِنْ شَرِّ لِسَانِي ، وَمِنْ شَرِّ قَلْبِي ، وَمِنْ شَرِّ مَنِيِّيْ
Ya Allah, aku meminta perlindungan pada-Mu dari kejelekan pada pendengaranku, dari kejelekan pada penglihatanku, dari kejelekan pada lisanku, dari kejelekan pada hatiku, serta dari kejelekan pada mani atau kemaluanku. (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)